Notification

×

Iklan

Iklan

Ajie Lingga: Dua Korban Anak Perkuat Dugaan Pola Kejahatan, Pelaku Harus Dihukum Berat

Minggu, Agustus 31, 2025 | 15.21 WIB Last Updated 2025-08-31T08:21:22Z

Madina central berita.com | TAPSEL - Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Sat Reskrim Polres Tapanuli Selatan (Tapsel) menegaskan komitmennya dalam menangani kasus dugaan tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur. Selain fokus pada proses hukum, kepolisian memastikan hak-hak ikorban tetap mendapat perhatian serius.

Kanit PPA Sat Reskrim Polres Tapsel, Ipda Tahan Simanungkalit, SH, menjelaskan bahwa berkas perkara tersebut telah dilimpahkan dan kini berstatus P22. Ia menegaskan, pendampingan bagi korban menjadi prioritas, bukan hanya penegakan hukum terhadap pelaku.

“Pendampingan mencakup layanan psikolog serta koordinasi bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Dinas Sosial Kabupaten Tapsel,” ungkapnya.

Menurutnya, sinergi lintas lembaga ini penting agar korban mendapatkan pemulihan psikologis dan perlindungan yang komprehensif seiring dengan berjalannya proses hukum.

Kasus ini bermula dari laporan dugaan pencabulan dengan terlapor berinisial DSP. Peristiwa diketahui pada Selasa, 22 April 2025 sekitar pukul 20.00 WIB. Pelapor memperoleh informasi dari seorang saksi berinisial POP yang menyebut anak pelapor, NH (11), telah menjadi korban perbuatan cabul oleh terlapor.

Saat ditanya langsung, korban NH mengakui pernah mengalami tindakan yang tidak pantas dari terlapor pada tahun 2024 di salah satu kebun, Kecamatan Sayur Matinggi.

Selain NH, saksi lain berinisial NF (9) juga diduga mengalami tindakan serupa. Hal itu terungkap setelah ayahnya, AM, curiga karena terlapor kerap mengantarkan NF sepulang sekolah. Saat ditanya, NF akhirnya mengaku pernah mendapat perlakuan tidak pantas dari terlapor.

“Kami hanya ingin keadilan untuk anak-anak kami. Harapan kami, jaksa bisa menegakkan hukum seadil-adilnya,” ujar salah satu keluarga korban.

Sementara itu, praktisi hukum sekaligus pemerhati tata kelola pemerintahan, Ajie Lingga, S.H., CGAP, menegaskan bahwa kasus yang melibatkan anak tidak boleh ada kompromi.

Apalagi ada dua korban sekaligus semakin memperkuat dugaan bahwa kasus ini bukan peristiwa tunggal, melainkan pola perbuatan yang serius. 

“Negara harus hadir penuh dalam kasus ini. Jangan ada pihak manapun yang mencoba melindungi pelaku, baik itu aparat desa, tokoh masyarakat, maupun oknum lain. Penegakan hukum harus murni demi kepentingan korban dan masa depan mereka,” tegas Ajie.

Ia juga mengingatkan bahwa mekanisme restorative justice tidak boleh digunakan dalam kasus pencabulan anak.

“Restorative justice tidak relevan untuk kasus kejahatan seksual terhadap anak. Negara wajib memastikan pelaku dihukum seberat-beratnya agar ada efek jera, sekaligus menjamin hak anak untuk pulih dan tumbuh tanpa trauma berkepanjangan,” tambahnya.

Sebagai landasan hukum, Ajie merujuk pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 81 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp5 miliar.”

“Ketentuan ini jelas. Tidak ada celah untuk kompromi dalam kasus pencabulan anak, apalagi jika sampai ada lebih dari satu korban. Penegak hukum wajib menjalankan amanat undang-undang,” tutup Ajie. (MCB/M) 
×
Berita Terbaru Update